Selasa, 13 November 2012

Hardcore In A Coma

Puppen sudah lama bubar, dan Full Of Hate tak jelas pucuk hidungnya. Walau telah di satroni Sick Of It All, tak ada gebrakan yang dapat meruntuhkan kesenjangan tembok tebal apatisme, terlebih kebanalan hari-hari ini. Hardcore telah mati – jika tidak – tengah diarak kerandanya oleh remaja tanggung menuju persemayaman terakhirnya. Sebut saja riwayat miris ini terjadi di Bandung, tempat dimana ia lahir, enggan mati, berjuang, sekarat, dan sempoyongan. Skena maskulin ini terhuyung akibat dihardik, sebut saja, oleh kapitalisme sensasional yang meramban pada kabel optik dan jejaring “folbek pliss” demi hanya membagikan sepucuk sticker, tak jarang berbunyi; “Blah blah H.C”
 
Saparua, Bandung. Tinggal sebuah artefak yang rapuh setelah didaulat tak lagi mumpuni menampung bejibun angst dan kegelisahan akan represifnya PHH dan rezim yang pandir. Terakhir, “Baheula Ayeuna Salilana, Saparua!” 2008, indoor venue terasa begitu dingin. Bangku bertingkat yang reot memprihatinkan, bak simbol absennya kepedulian kita, saya, dan mereka akan lembaran sejarah. Saya akui. Dengan nyaris nihilnya dokumentasi pergerakan seni musik lokal, tak banyak harapan saya akan Bandung. Namun tinggi hormat, kawan-kawan Ujung Berung Rebel memang sadar akan kerontang informasi yang dimiliki generasi facebook lanjut. Hadirnya biografi alm. Ivan, “My Self Scumbag” dan “Panceg Dina Galur, Ujung Berung Rebel” buah karya Kimung, adalah oase tersendiri bagi timpang-tindihnya banjir hastag nir-makna.

Namun, bagi generasi pasca RMHR, posko paling Hardcore di bilangan Supratman yang bubar jalan di 2011, makna perlawanan itu semakin hari semakin ambigu. Kabur tak menentu, bahkan demi mengenali siapa kawan dan lawan pun mesti googling dahulu. Semakin absurd kala Riotic Records mati suri. Menjadikan Bandung, lebih menyerupai album foto kenangan dan romansa dari para sesepuhnya, dari pada Kota Kreatif yang produktif menggempur media arus utama seperti apa yang para sesepuh baheula lakukan. Hal ini, sekaligus mempertebal prasangka dari kawan saya, generasi 90-an memang lebih keren berkeseniannya maupun aktivitas revolusionernya, dibanding dengan generasi digital sekarang. Di satu sisi saya dapat setuju, di sisi lain tetap emoh manggut-manggut. Saya tidak setua itu.
Maka, mari kita lihat realita lingkar moshpit hari ini. Usaha-usaha untuk mengembalikan bendera barometer ke kota kembang, sejatinya sudah dimulai oleh Eddie Brokoli, sang penggagas “Baheula Ayeuna Salilana, Saparua!”  yang berlanjut pada “Konser Musik Metal” di venue yang sama untuk kemudian di estafetkan ke Brigif lewat “Bandung Berisik V”. Alhasil, eforia itu kembali di udara. Gigs besar maupun kecil, yang sebelumnya marak mewarnai akhir minggu sedari Ujung Berung hingga ujung Lembang, oleh mini show sekelas Studio Show sampai yang paling hip saat ini, Radio Show, yang ditaburi talenta-talenta dan ikon musisi Bandung: Pure Saturday dan Burger Kill salah satunya. Maka, Riuh rendah tersebut dapat dikatakan berhasil mengakhiri iklim paceklik gigs pasca tragedi AACC.
Tetapi ada yang hilang, terreduksi, atau malah sengaja dihilangkan. Hingar-bingar konser, tak serta-merta hendak segendang sepenarian dengan semangat perlawanan pada Saparua, circa 95’. Jika Yogya telah melahirkan musisi avant layaknya Bekalstrelka, Melancholic Bitch, atau Kill The DJ, pun dengan Jakarta yang tengah menerabas pagar angkuh Senayan bersama Efek Rumah Kaca. Maka Bandung juga tak ketinggalan. Ia menyusul dikemudian dengan penampakan kontingen windbreaker di siang terik. Sekumpulan pemuda dengan raglan yang catchy, sibuk mencaci-maki sana-sini, spirit dan pride yang bla bla bla. Tunggu, saya berfikir sejenak, hal busuk apa lagi yang menjadi “Bandung Pride” kala majemuknya distro dan senjakala ideologi didalamnya? Ayi Vivananda? Persib?
Terlebih, jika melongok sebentar gelagat para newest skool HC ini. Semakin menyerupai khotbah para moralis, dan sudah pasti karenanya dangkal makna. Saya tak pernah merasa tersentak sebelumnya saat mendapatkan jawaban dari salah seorang kawan skena HC yang buta Youth Of Today dan melupakan Minor Threat begitu saja, dan lebih memilih Comeback Kid atau H2O yang lebih fun dan ringan. Tak apa, saya pun ogah terjebak teori pukul rata, toh ia masih dalam kemasan Hardcore dan ga jauh-jauh amat melenceng dari pakem power chords repetitif, biar pun liriknya masih seputaran itu-itu saja. Posser.
Faktanya, dibalik geliat skena Hardcore kekinian, semangat yang hilang itu kini sedikit terjawabkan dengan sendirinya. Namun, saya enggan mengobral kritik terhadap dik Gania dan rombongan tagoninya itu. Secara pribadi, tak ada yang salah dengan musikalitas serta estetika bermusik mereka, bahkan Bill Fold dapat, atau bahkan telah melampaui animo crowd terhadap Step 4Ward dan sosok Jill Van Diest bertahun silam. Namun, pasar diluaran ternyata kurang ‘ngeh’. Bagaimana tidak, saya hampir saja dikibuli setelah salah tafsir, bahwasannya sebuah tas yang saya beli tak ada aroma band merchendise barang sedikit pun disana. Selama beberapa bulan, saya haqqul yakin jika Bill Fold merupakan clothing company.  Tak lama sejak twit itu datang, “#np Bill Fold – Save Them To Save Us”.
Saya-kurang-gaul. Adalah tiga kata yang bertubi saya terima setelahnya. Saya amini itu. Namun, ke-kurang gaul-an saya ini diikuti oleh banyak sejawat yang notabene berpendapat tak jauh berbeda. Saya pun urung berspekulasi terlalu jauh. Katakanlah, mereka disodori banyak kontrak sablon kaos dan tas oleh distro-distro, atau ada sebuah share revenue di dalam perjanjian kedua belah pihak yang dirasa mirip simbiosis mutualisme: promosi band dan marketing clothing company. Atau malah, ada pihak lain yang memang sengaja memakai Bill Fold sebagai sarana dagang kaos. Maka, darinya Hardcore yang memang menjadi nyawa dari Bill Fold begitu laris serupa magnum dalam perpaduannya dengan fixie atau DSLR.
Hardcore sedang naik daun? Atau malah Hardcore tengah menggali kuburannya sendiri? Yang jelas, agenda tempo hari dari saya dan kawan, bukan lagi moshing dan mengantungi pulang klimaks distorsi untuk diledakkan kembali keesokkan harinya menjadi sebuah praksis nyata akibat propaganda cerdas dari si band. Kiranya, aktivitas datang ke gigs Hardcore lebih mirip menziarahi situs-situs Hardcore yang akhir-akhir ini lebih banyak hinggap di cafe-cafe. Dengan betapapun sebuah lagu dikait mencomoti serta isu sosial, dengan apapun serapah yang Hardcore kecam, ia hanya akan menjadi trendi, bukan malah menjadi ‘subversif’ seperti layaknya Arian 13 nyatakan eksplisit pada “Hijau Seharusnya Sejuk” itu dan guratan kontroversial dalam kaos yang membuatnya diciduk polisi, atau gambar Microphone dan Arit yang revolusioner itu.
Sekali lagi, jika Puppen telah mangkat dan tak mungkin balik reuni, Homicide yang walau Hiphop, tetapi cenderung lebih dekat dengan skena Hardcore pun telah berpulang, diikuti oleh Authority yang sialnya juga telah wafat, dan jika memang Hardcore hari ini bergerak liar lewat viral marketing, begitu buas mencetak berkodi-kodi kaos, windbreaker, hingga boxer, namun nihil pesan secerdas “Lencana” dan “Sepakat Untuk Tidak Sepakat”, adalah terlalu naif jika kita menyebut terdakwa era digital sebagai tersangka, yang toh tulisan ini pun ditulis saat dimana era digital makin mendarah daging. Tetapi, jika sejatinya HC Pride adalah letak seberapa tenar dan larisnya penjualan merchendise, jika memang Hardcore kekinian ini kumpulan para pedagang kaos yang nyambi ngeband, maka, Hardcore sudah layak mati.

1 komentar:

  1. Bolavita Agen Betting Bola Tangkas Online Terbesar & Terpercaya.. Cashback Special 10% Khusus Bola Tangkas Online...
    Bolavita Juga Menyediakan Semua Jenis Betting Online, Pasti'a Lengkap gan :) !!

    • Sabung Ayam
    • Togel Online
    • Judi Bola
    • Casino Online
    • Tembak Ikan
    • Poker Online
    • SLOT (Play1628)
    • WM Casino

    Semua Dapat Di Mainkan Via Android & iOs !!

    Hanya di www(.)bolavita(.)club

    BBM : BOLAVITA
    Line : cs_bolavita
    WA : 081377055002

    BalasHapus