Puppen sudah lama bubar, dan
Full Of Hate tak jelas pucuk hidungnya. Walau telah di satroni Sick Of It All,
tak ada gebrakan yang dapat meruntuhkan kesenjangan tembok tebal apatisme,
terlebih kebanalan hari-hari ini. Hardcore telah mati – jika tidak – tengah
diarak kerandanya oleh remaja tanggung menuju persemayaman terakhirnya. Sebut
saja riwayat miris ini terjadi di Bandung, tempat dimana ia lahir, enggan mati,
berjuang, sekarat, dan sempoyongan. Skena maskulin ini terhuyung akibat
dihardik, sebut saja, oleh kapitalisme sensasional yang meramban pada kabel
optik dan jejaring “folbek pliss”
demi hanya membagikan sepucuk sticker, tak jarang berbunyi; “Blah blah H.C”
Saparua, Bandung. Tinggal
sebuah artefak yang rapuh setelah didaulat tak lagi mumpuni menampung bejibun angst dan kegelisahan akan represifnya
PHH dan rezim yang pandir. Terakhir, “Baheula
Ayeuna Salilana, Saparua!” 2008, indoor venue terasa begitu dingin. Bangku
bertingkat yang reot memprihatinkan, bak simbol absennya kepedulian kita, saya,
dan mereka akan lembaran sejarah. Saya akui. Dengan nyaris nihilnya dokumentasi
pergerakan seni musik lokal, tak banyak harapan saya akan Bandung. Namun tinggi
hormat, kawan-kawan Ujung Berung Rebel memang sadar akan kerontang informasi
yang dimiliki generasi facebook lanjut. Hadirnya biografi alm. Ivan, “My Self Scumbag” dan “Panceg Dina Galur, Ujung Berung Rebel”
buah karya Kimung, adalah oase tersendiri bagi timpang-tindihnya banjir hastag
nir-makna.
Namun, bagi generasi pasca
RMHR, posko paling Hardcore di bilangan Supratman yang bubar jalan di 2011,
makna perlawanan itu semakin hari semakin ambigu. Kabur tak menentu, bahkan
demi mengenali siapa kawan dan lawan pun mesti googling dahulu. Semakin absurd
kala Riotic Records mati suri. Menjadikan Bandung, lebih menyerupai album foto
kenangan dan romansa dari para sesepuhnya, dari pada Kota Kreatif yang
produktif menggempur media arus utama seperti apa yang para sesepuh baheula lakukan. Hal ini, sekaligus
mempertebal prasangka dari kawan saya, generasi 90-an memang lebih keren
berkeseniannya maupun aktivitas revolusionernya, dibanding dengan generasi
digital sekarang. Di satu sisi saya dapat setuju, di sisi lain tetap emoh manggut-manggut.
Saya tidak setua itu.
Maka, mari kita lihat realita lingkar
moshpit hari ini. Usaha-usaha untuk mengembalikan bendera barometer ke kota
kembang, sejatinya sudah dimulai oleh Eddie Brokoli, sang penggagas “Baheula Ayeuna Salilana, Saparua!” yang berlanjut pada “Konser Musik Metal” di
venue yang sama untuk kemudian di estafetkan ke Brigif lewat “Bandung Berisik
V”. Alhasil, eforia itu kembali di udara. Gigs besar maupun kecil, yang
sebelumnya marak mewarnai akhir minggu sedari Ujung Berung hingga ujung
Lembang, oleh mini show sekelas Studio Show sampai yang paling hip saat ini,
Radio Show, yang ditaburi talenta-talenta dan ikon musisi Bandung: Pure
Saturday dan Burger Kill salah satunya. Maka, Riuh rendah tersebut dapat dikatakan
berhasil mengakhiri iklim paceklik gigs pasca tragedi AACC.
Tetapi ada yang hilang,
terreduksi, atau malah sengaja dihilangkan. Hingar-bingar konser, tak
serta-merta hendak segendang sepenarian dengan semangat perlawanan pada
Saparua, circa 95’. Jika Yogya telah
melahirkan musisi avant layaknya Bekalstrelka,
Melancholic Bitch, atau Kill The DJ, pun dengan Jakarta yang tengah menerabas
pagar angkuh Senayan bersama Efek Rumah Kaca. Maka Bandung juga tak
ketinggalan. Ia menyusul dikemudian dengan penampakan kontingen windbreaker di
siang terik. Sekumpulan pemuda dengan raglan yang catchy, sibuk mencaci-maki
sana-sini, spirit dan pride yang bla bla bla. Tunggu, saya berfikir sejenak,
hal busuk apa lagi yang menjadi “Bandung Pride” kala majemuknya distro dan
senjakala ideologi didalamnya? Ayi Vivananda? Persib?
Terlebih, jika melongok
sebentar gelagat para newest skool HC ini. Semakin menyerupai khotbah para
moralis, dan sudah pasti karenanya dangkal makna. Saya tak pernah merasa
tersentak sebelumnya saat mendapatkan jawaban dari salah seorang kawan skena HC
yang buta Youth Of Today dan melupakan Minor Threat begitu saja, dan lebih
memilih Comeback Kid atau H2O yang lebih fun
dan ringan. Tak apa, saya pun ogah terjebak teori pukul rata, toh ia masih dalam
kemasan Hardcore dan ga jauh-jauh amat melenceng dari pakem power chords
repetitif, biar pun liriknya masih seputaran itu-itu saja. Posser.
Faktanya, dibalik geliat skena
Hardcore kekinian, semangat yang hilang itu kini sedikit terjawabkan dengan
sendirinya. Namun, saya enggan mengobral kritik terhadap dik Gania dan
rombongan tagoninya itu. Secara pribadi, tak ada yang salah dengan musikalitas serta
estetika bermusik mereka, bahkan Bill Fold dapat, atau bahkan telah melampaui
animo crowd terhadap Step 4Ward dan sosok Jill Van Diest bertahun silam. Namun,
pasar diluaran ternyata kurang ‘ngeh’.
Bagaimana tidak, saya hampir saja dikibuli setelah salah tafsir, bahwasannya
sebuah tas yang saya beli tak ada aroma band merchendise barang sedikit pun
disana. Selama beberapa bulan, saya haqqul yakin jika Bill Fold merupakan
clothing company. Tak lama sejak twit
itu datang, “#np Bill Fold – Save Them To Save Us”.
Saya-kurang-gaul. Adalah tiga
kata yang bertubi saya terima setelahnya. Saya amini itu. Namun, ke-kurang
gaul-an saya ini diikuti oleh banyak sejawat yang notabene berpendapat tak jauh
berbeda. Saya pun urung berspekulasi terlalu jauh. Katakanlah, mereka disodori
banyak kontrak sablon kaos dan tas oleh distro-distro, atau ada sebuah share
revenue di dalam perjanjian kedua belah pihak yang dirasa mirip simbiosis
mutualisme: promosi band dan marketing clothing company. Atau malah, ada pihak
lain yang memang sengaja memakai Bill Fold sebagai sarana dagang kaos. Maka,
darinya Hardcore yang memang menjadi nyawa dari Bill Fold begitu laris serupa
magnum dalam perpaduannya dengan fixie atau DSLR.
Hardcore sedang naik daun? Atau
malah Hardcore tengah menggali kuburannya sendiri? Yang jelas, agenda tempo
hari dari saya dan kawan, bukan lagi moshing dan mengantungi pulang klimaks
distorsi untuk diledakkan kembali keesokkan harinya menjadi sebuah praksis nyata
akibat propaganda cerdas dari si band. Kiranya, aktivitas datang ke gigs
Hardcore lebih mirip menziarahi situs-situs Hardcore yang akhir-akhir ini lebih
banyak hinggap di cafe-cafe. Dengan betapapun sebuah lagu dikait mencomoti
serta isu sosial, dengan apapun serapah yang Hardcore kecam, ia hanya akan
menjadi trendi, bukan malah menjadi ‘subversif’ seperti layaknya Arian 13
nyatakan eksplisit pada “Hijau Seharusnya Sejuk” itu dan guratan kontroversial
dalam kaos yang membuatnya diciduk polisi, atau gambar Microphone dan Arit yang
revolusioner itu.
Sekali lagi, jika Puppen telah
mangkat dan tak mungkin balik reuni, Homicide yang walau Hiphop, tetapi
cenderung lebih dekat dengan skena Hardcore pun telah berpulang, diikuti oleh
Authority yang sialnya juga telah wafat, dan jika memang Hardcore hari ini
bergerak liar lewat viral marketing, begitu buas mencetak berkodi-kodi kaos,
windbreaker, hingga boxer, namun nihil pesan secerdas “Lencana” dan “Sepakat
Untuk Tidak Sepakat”, adalah terlalu naif jika kita menyebut terdakwa era
digital sebagai tersangka, yang toh tulisan ini pun ditulis saat dimana era
digital makin mendarah daging. Tetapi, jika sejatinya HC Pride adalah letak
seberapa tenar dan larisnya penjualan merchendise, jika memang Hardcore kekinian
ini kumpulan para pedagang kaos yang nyambi
ngeband, maka, Hardcore sudah layak mati.
Bolavita Agen Betting Bola Tangkas Online Terbesar & Terpercaya.. Cashback Special 10% Khusus Bola Tangkas Online...
BalasHapusBolavita Juga Menyediakan Semua Jenis Betting Online, Pasti'a Lengkap gan :) !!
• Sabung Ayam
• Togel Online
• Judi Bola
• Casino Online
• Tembak Ikan
• Poker Online
• SLOT (Play1628)
• WM Casino
Semua Dapat Di Mainkan Via Android & iOs !!
Hanya di www(.)bolavita(.)club
BBM : BOLAVITA
Line : cs_bolavita
WA : 081377055002